MEET NOT GREET
Bersama
kilatan petir yang memecah keheningan fajar, di antara riuh gerimis yang
menyapa dedaunan, perlahan dengan sangat malas kutarik lagi ujung selimut yang
sedikit tersingkap hingga menutupi seluruh bagian tubuhku, lagi. Masih terlalu fajar,
belum juga kudengar adzan Subuh berkumandang. Mata ini masih teramat berat,
bahkan sampai kusiakan Tahajud yang penuh rahmat. Tubuhku masih terasa penat,
usai kuforsir hingga menjelang fajar tadi untuk menyelesaikan tugas kuliah.
Sebagai
mahasiswi tingkat dua di salah satu universitas negeri di kota semarang, aku
sudah mulai disibukkan dengan tugas kuliah, tugas organisasi dan juga pekerjaan
sampinganku yang merupakan penyaluran hobi menulis. Sudah bukan hal aneh bagi
ayah dan ibuku ketika aku menelfon dan mengabarkan bahwa minggu ini tidak bisa
menghabiskan waktu bersama keluarga di surga kecilku. Beliau dengan bijak
mengabulkannya, tak lupa restu dan mutiara yang mengalun merdu di telingaku.
Akan tetapi, sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, aku merasakan kerinduan
yang teramat dalam juga kekecewaan di hati mereka. Harapan mereka untuk
menghabiskan waktu bersamaku sudah pasti sangatlah besar, mengingat ketiga
kakakku telah berumah tangga dan sudah tidak tinggal bersama kami.
Lantunan
adzan subuh berkumandang. Sejenak kuhentikan anganku tentang kampung halaman.
Sambil meggeliat kecil, perlahan kubuka mataku yang masih saja terasa berat. Kubaca
“Alhamdulillahil ladzi ahyana ba’da ma
amatana wailaihin nusyur” dalam hati, agar tidak ada keinginan untuk
melanjutkan mimpi. Suasana pagi ini memang sangat mendukung untuk
bermalas-malasan, hujan yang mengguyur dari semalam belum menunjukkan
tanda-tanda akan tergantikan oleh terang. Akupun tak dapat mengelak dari rasa
malas yang menginginkan untuk tetap hanyut dalam hangatnya selimut. Selimut itu
masih kubiarkan terurai di atas ranjang berukuran 120 x 160 cm tempatku melepas
lelah. Aku berniat menggunakannya lagi selepas sembahyang Subuh nanti.
Suasana
masih senyap, dan udara kota semarang yang panas pagi ini masih sangat dingin.
Agak malas kulangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
kusucikan tubuhku dengan wudhlu, hingga kepenatan yang aku rasakan turut
tanggal bersama aliran air wudhlu yang kubasuhkan di wajah, tangan dan kakiku.
Usai
kuselesaikan sembahyang subuh, kuambil Al-Qur’an kecil di atas lemari bukuku.
Kubuka juz 30 surah ke-89, Al-Fajr. Kuresapi ayat demi ayat, tafsiran kata demi
kata, kalamullah yang luar biasa indah hingga aku terhanyut dan melupakan
keinginanku untuk membenamkan diri di balik selimut. Sudah hampir jam 6, ketika
kuselesikan sembahyangku pagi ini. Menyadari ketidakmungkinanku untuk terlelap
lagi, segera kulipat selimut dan kurapikan tempat tidurku. Bergegas kuambil
sebutir telur dari dalam freezer, beberapa menit kemudian sepiring omlet
favorit telah siap untuk disantap. Menu sarapan pagi yang hadir setiap hari
tanpa bosan, nasi putih, omelet dan kecap manis serta tak lupa segelas susu
putih. Cukup untuk bekal menghadapi hari dengan penuh semangat.
Selesai
sarapan pagi aku bergegas berapih diri, mengenakan baju batik dan rok hitam,
tak lupa jilbab paris berwarna merah yang kukenakan untuk menyembunyikan
rambutku yang panjang tergelung di bagian belakang kepalaku. Segera kulangkahkan
kaki menapaki gang demi gang yang sempit di sekitar rumah kosku. Kupercepat
langkahku menuju kampus, lurus saja dari gerbang menuju gedung serba guna yang
biasa digunakan untuk seminar dan pertemuan lainnya. Hari itu kebetulan aku
terpaksa mengikuti workshop IT, media pembelajaran berbasis macromedia flash.
Bukan bidangku memang, atau lebih tepatnya bukan kemauanku mengikuti workhop
itu. Aku terpaksa mengikutinya lantaran digunakan sebagai pendukung salah satu
mata kuliah yang kuambil. Alhasil, dalam pelaksanaannyapun aku tidak dapat
sepenuhnya mengikuti, entah apa yang aku peroleh dari sana. Sebenarnya,
workshop dengan pembicara bernama depan Muhammad itu mengusung topik yang bagus
dan bermanfaat. Mas Muhammad selaku pembicara menyampaikan modulnya dengan
sangat menarik, bahkan tidak hanya sebatas teori, peserta dilibatkan secara
langsung dalam demo membuat media pembelajaran berbasis macromedia flash
tersebut.
Aku
masih ingat, antusiasme peserta dalam mengikuti workshop. Hal itu terlihat dari
reaksi yang responsif dan keaktifan menyampaikan pertanyaan. Mas Muhammad
memiliki pembawaan yang tenang ketika berada di depan peserta, beliau menjawab
pertanyaan dengan jelas dan mudah ditangkap oleh peserta. Dari perkenalan yang
dibacakan oleh moderator, ditambah pernyataannya secara langsung, hal itu masuk
akal. Beliau merupakan mahasiswa semester akhir yang sekaligus menjabat sebagai
ketua UKM Penelitian di kampusku. Pengalaman-pengalamannya dalam menulis tidak
dapat dipandang sebelah mata. Beliau pernah memenangkan berbagai kompetisi tulisan
ilmiah dalam berbagai tingkat dan segudang prestasi lainnya. Terlepas dari
segudang prestasi tersebut, ada satu hal yang aku garis bawahi dengan tanda atention merah muda, beliau adalah
seorang muslim dengan pandangan islam modern dan sekaligus hafidz Al-Qur’an.
Hal utama yang menjadi daya tarik seorang ikhwan bagi ahwat yang sudah memasuki
masa dewasa sepertiku.
Tanpa
sadar workshop telah berakhir, sedangkan aku masih terlalu asik dengan anganku
tentang seorang ikhwan yang kelak akan menjadi imamku. Lamunanku mengudara
bersama awan dan menghilang tertiup angin, ketika sahabat karibku Aisyah
mengejutkanku dengan senggolan kecil di lenganku. Aku tersadar, dan segera
kutekan tombol turn off pada laptopku. Kami berjalan ke luar dari ruangan
workshop dengan fikiran masing-masing. Entah apa yang difikirkan oleh Aisyah,
tetapi aku masih tersenyum kecil
mengangankan sosok lelaki yang kuharapkan sebagai imam.
Sambil
melangkah ke luar, sekilas aku menoleh ke ruang transit. Disana kudapati mas
Muhammad sedang berbincang dengan ibu ketua jurusan. Tanpa sengaja pandangan
kami saling bertemu, beliau hanya menganggukkan kepala dan tersenyum. Aku hanya
tersipu, tak mampu membalas keramahan itu dengan senyuman pula. Entah apa yang
beliau fikirkan, tapi sikapku memang cenderung terlihat kurang sopan. Meskipun
sebenarnya bukan seperti itu. Aku hanya terlalu bahagia, malu, tidak percaya,
atau perasaan lain yang berkolaborasi menjadi satu perasaan aneh yang
bergemuruh didadaku. Aku hanya bisa mempercepat langkahku, meredam rona merah
yang kian jelas membuncah di pipiku.
Hari
ini kutemui sosok ikhwan yang memenuhi kualifikasi dambaanku sebagai imam,
seorang hafidz. Meskipun di antara kita belum pernah ada sapa, namun nama itu
akan kusebut dalam sujudku. Meskipun nama itu bukan Muhammad, aku akan tetap
menyebutnya. Kusebut nama hafidz dalam sujudku, dan berharap nama itu yang
tertulis di lauh mahfuz sebagai imam dunia akhiratku. Aamiin J
Semoga
ada masa dimana kita bisa saling bersua dan bersapa, sepertihalnya ikhwan dan
akhwat yang menaruh harapan untuk dapat menyambungkan suatu ikatan silaturahim,
bukan hanya antara dua insan, akan tetapi hingga dua keluarga. Meskipun
sekarang kita hanya bisa bersapa dalam do’a, akan tetapi Insya Allah kelak kita
akan bersama dalam bahtera rumah tangga. Akankah kesempatan itu nyata adanya?
Mungkinkah? Entahlah, aku hanyalah umat yang berserah atas segala suratan sang
pencipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar