Assallamuallaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Rabu, 10 Juni 2015

Cerbung Istanbul Get Love part 1



MEET NOT GREET
Bersama kilatan petir yang memecah keheningan fajar, di antara riuh gerimis yang menyapa dedaunan, perlahan dengan sangat malas kutarik lagi ujung selimut yang sedikit tersingkap hingga menutupi seluruh bagian tubuhku, lagi. Masih terlalu fajar, belum juga kudengar adzan Subuh berkumandang. Mata ini masih teramat berat, bahkan sampai kusiakan Tahajud yang penuh rahmat. Tubuhku masih terasa penat, usai kuforsir hingga menjelang fajar tadi untuk menyelesaikan tugas kuliah.
Sebagai mahasiswi tingkat dua di salah satu universitas negeri di kota semarang, aku sudah mulai disibukkan dengan tugas kuliah, tugas organisasi dan juga pekerjaan sampinganku yang merupakan penyaluran hobi menulis. Sudah bukan hal aneh bagi ayah dan ibuku ketika aku menelfon dan mengabarkan bahwa minggu ini tidak bisa menghabiskan waktu bersama keluarga di surga kecilku. Beliau dengan bijak mengabulkannya, tak lupa restu dan mutiara yang mengalun merdu di telingaku. Akan tetapi, sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, aku merasakan kerinduan yang teramat dalam juga kekecewaan di hati mereka. Harapan mereka untuk menghabiskan waktu bersamaku sudah pasti sangatlah besar, mengingat ketiga kakakku telah berumah tangga dan sudah tidak tinggal bersama kami.
Lantunan adzan subuh berkumandang. Sejenak kuhentikan anganku tentang kampung halaman. Sambil meggeliat kecil, perlahan kubuka mataku yang masih saja terasa berat. Kubaca “Alhamdulillahil ladzi ahyana ba’da ma amatana wailaihin nusyur” dalam hati, agar tidak ada keinginan untuk melanjutkan mimpi. Suasana pagi ini memang sangat mendukung untuk bermalas-malasan, hujan yang mengguyur dari semalam belum menunjukkan tanda-tanda akan tergantikan oleh terang. Akupun tak dapat mengelak dari rasa malas yang menginginkan untuk tetap hanyut dalam hangatnya selimut. Selimut itu masih kubiarkan terurai di atas ranjang berukuran 120 x 160 cm tempatku melepas lelah. Aku berniat menggunakannya lagi selepas sembahyang Subuh nanti.
Suasana masih senyap, dan udara kota semarang yang panas pagi ini masih sangat dingin. Agak malas kulangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. kusucikan tubuhku dengan wudhlu, hingga kepenatan yang aku rasakan turut tanggal bersama aliran air wudhlu yang kubasuhkan di wajah, tangan dan kakiku.
Usai kuselesaikan sembahyang subuh, kuambil Al-Qur’an kecil di atas lemari bukuku. Kubuka juz 30 surah ke-89, Al-Fajr. Kuresapi ayat demi ayat, tafsiran kata demi kata, kalamullah yang luar biasa indah hingga aku terhanyut dan melupakan keinginanku untuk membenamkan diri di balik selimut. Sudah hampir jam 6, ketika kuselesikan sembahyangku pagi ini. Menyadari ketidakmungkinanku untuk terlelap lagi, segera kulipat selimut dan kurapikan tempat tidurku. Bergegas kuambil sebutir telur dari dalam freezer, beberapa menit kemudian sepiring omlet favorit telah siap untuk disantap. Menu sarapan pagi yang hadir setiap hari tanpa bosan, nasi putih, omelet dan kecap manis serta tak lupa segelas susu putih. Cukup untuk bekal menghadapi hari dengan penuh semangat.
Selesai sarapan pagi aku bergegas berapih diri, mengenakan baju batik dan rok hitam, tak lupa jilbab paris berwarna merah yang kukenakan untuk menyembunyikan rambutku yang panjang tergelung di bagian belakang kepalaku. Segera kulangkahkan kaki menapaki gang demi gang yang sempit di sekitar rumah kosku. Kupercepat langkahku menuju kampus, lurus saja dari gerbang menuju gedung serba guna yang biasa digunakan untuk seminar dan pertemuan lainnya. Hari itu kebetulan aku terpaksa mengikuti workshop IT, media pembelajaran berbasis macromedia flash. Bukan bidangku memang, atau lebih tepatnya bukan kemauanku mengikuti workhop itu. Aku terpaksa mengikutinya lantaran digunakan sebagai pendukung salah satu mata kuliah yang kuambil. Alhasil, dalam pelaksanaannyapun aku tidak dapat sepenuhnya mengikuti, entah apa yang aku peroleh dari sana. Sebenarnya, workshop dengan pembicara bernama depan Muhammad itu mengusung topik yang bagus dan bermanfaat. Mas Muhammad selaku pembicara menyampaikan modulnya dengan sangat menarik, bahkan tidak hanya sebatas teori, peserta dilibatkan secara langsung dalam demo membuat media pembelajaran berbasis macromedia flash tersebut.
Aku masih ingat, antusiasme peserta dalam mengikuti workshop. Hal itu terlihat dari reaksi yang responsif dan keaktifan menyampaikan pertanyaan. Mas Muhammad memiliki pembawaan yang tenang ketika berada di depan peserta, beliau menjawab pertanyaan dengan jelas dan mudah ditangkap oleh peserta. Dari perkenalan yang dibacakan oleh moderator, ditambah pernyataannya secara langsung, hal itu masuk akal. Beliau merupakan mahasiswa semester akhir yang sekaligus menjabat sebagai ketua UKM Penelitian di kampusku. Pengalaman-pengalamannya dalam menulis tidak dapat dipandang sebelah mata. Beliau pernah memenangkan berbagai kompetisi tulisan ilmiah dalam berbagai tingkat dan segudang prestasi lainnya. Terlepas dari segudang prestasi tersebut, ada satu hal yang aku garis bawahi dengan tanda atention merah muda, beliau adalah seorang muslim dengan pandangan islam modern dan sekaligus hafidz Al-Qur’an. Hal utama yang menjadi daya tarik seorang ikhwan bagi ahwat yang sudah memasuki masa dewasa sepertiku.
Tanpa sadar workshop telah berakhir, sedangkan aku masih terlalu asik dengan anganku tentang seorang ikhwan yang kelak akan menjadi imamku. Lamunanku mengudara bersama awan dan menghilang tertiup angin, ketika sahabat karibku Aisyah mengejutkanku dengan senggolan kecil di lenganku. Aku tersadar, dan segera kutekan tombol turn off pada laptopku. Kami berjalan ke luar dari ruangan workshop dengan fikiran masing-masing. Entah apa yang difikirkan oleh Aisyah, tetapi aku masih tersenyum  kecil mengangankan sosok lelaki yang kuharapkan sebagai imam.
Sambil melangkah ke luar, sekilas aku menoleh ke ruang transit. Disana kudapati mas Muhammad sedang berbincang dengan ibu ketua jurusan. Tanpa sengaja pandangan kami saling bertemu, beliau hanya menganggukkan kepala dan tersenyum. Aku hanya tersipu, tak mampu membalas keramahan itu dengan senyuman pula. Entah apa yang beliau fikirkan, tapi sikapku memang cenderung terlihat kurang sopan. Meskipun sebenarnya bukan seperti itu. Aku hanya terlalu bahagia, malu, tidak percaya, atau perasaan lain yang berkolaborasi menjadi satu perasaan aneh yang bergemuruh didadaku. Aku hanya bisa mempercepat langkahku, meredam rona merah yang kian jelas membuncah di pipiku.
Hari ini kutemui sosok ikhwan yang memenuhi kualifikasi dambaanku sebagai imam, seorang hafidz. Meskipun di antara kita belum pernah ada sapa, namun nama itu akan kusebut dalam sujudku. Meskipun nama itu bukan Muhammad, aku akan tetap menyebutnya. Kusebut nama hafidz dalam sujudku, dan berharap nama itu yang tertulis di lauh mahfuz sebagai imam dunia akhiratku. Aamiin J
Semoga ada masa dimana kita bisa saling bersua dan bersapa, sepertihalnya ikhwan dan akhwat yang menaruh harapan untuk dapat menyambungkan suatu ikatan silaturahim, bukan hanya antara dua insan, akan tetapi hingga dua keluarga. Meskipun sekarang kita hanya bisa bersapa dalam do’a, akan tetapi Insya Allah kelak kita akan bersama dalam bahtera rumah tangga. Akankah kesempatan itu nyata adanya? Mungkinkah? Entahlah, aku hanyalah umat yang berserah atas segala suratan sang pencipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar